Matahari belum sepenuhnya muncul dari ufuk timur. Sejumlah kendaraan bak terbuka mulai bergerak meninggalkan dusun Wanalaya, Desa Banjarkerta, Karanganyar, Purbalingga. Kendaraan bak terbuka itu mengangkut produk yang sama, yakni kasur lantai dan kasur ranjang. Dari dusun itu, ribuan kasur membanjiri pasar di jawa dan luar pulau jawa.
Sedikitnya 200 kepala keluarga atau sekitar 95% warga dusun itu menggantungkan nafkahnya dari industri kasur. Sisanya, seperti warga desa umumnya, mengais nafkah dengan bertani. Dan dalam jumlah yang tidak banyak, terdapat pula warga yang berprofesi sebagai pegawai negeri sipil maupun perangkat desa.
Hampir di setiap sudut rumah di dusun itu, laki - laki maupun perempuan dewasa sudah piawai membuat dan sekaligus memasarkan kasur. Dari kerajinan kasur itu pula
, tingkat kesejahteraan masyarakat Wanalaya relatif mapan. Gambaran kesejahteraan masyarakat perajin kasur tampak dari rumah penduduk yang permanen. Tidak sedikit pula rumah - rumah itu yang dilengkapi garasi mobil dan antena parabola.
Denyut ekonomi kreatif warga Wanalaya dimulai pada tahun 2000. Seorang warga RT 01 / RW 04 dusun itu, Ramin Supriyadi (41)
, bisa dibilang yang pertama merintis usaha kasur tersebut. Diawali dengan berjualan korden keliling, Ramin memikul dan menawarkan dagangan ke rumah - rumah penduduk di Purbalingga, Purwokerto hingga Temanggung. Hingga pada suatu ketika, saat masuk ke sebuah supermarket di Purwokerto, ia melihat kasur lantai yang dijual Rp. 270 ribu perbuah.
"Saat itu saya mikir, saya pasti bisa bikin kasur seperti ini karena dulu saya pernah bekerja menjual kasur ranjang kelilingan di Jakarta, Akhirnya saya coba - coba bikin kasur lantai itu. Modal awal saya Rp. 250 ribu buat beli kain dan kapas. Saya bikin jadi empat kasur", tutur Ramin Supriyadi.
Dengan cara yang sama, yakni dipikul keliling rumah penduduk, Ramin menawarkan dagangan di kawasan Baturaden. Hasilnya, empat kasur buatan tangannya habis terjual dengan harga masing - masing Rp. 200 ribu. Dengan uang hasil penjualan Rp. 800 ribu itu, Ramin Supriyadi memproduksi kasur lebih banyak lagi.
Karena prospek membaik, Ramin Supriyadi nekat menjual semua perhiasan istrinya dan barang berharga lainnya hingga terkumpul modal Rp. 1,8 juta. Uang itu untuk membeli kain dan limbah kapas dari pabrik tekstil di bandung dalam jumlah besar. Dengan mempekerjakan warga sekitar, jumlah kasur lantai yang dihasilkannya pun semakin banyak dan tentu saja keuntungan yang diraup semakin besar pula.
Semakin banyaknya permintaan kasur, disikapi Ramin dengan memberdayakan masyarakat sekitarnya. Ratusan warga dusun Wanalaya pun menjadi semacam plasma industri kasur, mengambil bahan baku dan menjualnya kepada Ramin.
Proses membuat kasur lantai, kain khusus untuk membuat bahan kasur dijahit terlebih dahulu, kemudian dimasuki kapas dari limbah pabrik tekstil. Pada proses ini diperlukan teknik khusus. Bagi yang sudah mahir, dalam sehari seorang pekerja bisa membuat 12 - 15 kasur lantai, dengan ongkos Rp. 3 ribu per kasur. Karena sudah menjadi kebiasaan, kini banyak warga dusun Wanalaya yang piawai membuat kasur lantai.
"Awal 2003 saya mulai memasarkan kasur hingga ke Kalimantan Barat. Disana prospeknya juga bagus, hingga akhirnya kini usaha saya sudah melebar hingga ke seluruh Sumatera, Sulawesi, Maluku, Papua hingga ke Timor Leste. Bahkan produk saya juga sudah sampai ke Malaysia lewat orang pontianak yang mengirim kesana," ujar bapak dua anak yang mengaku hanya tamat SD ini.
Dalam setiap bulan, Ramin mengaku mampu memproduksi 15.000 kasur. Bahkan kalau pesanan atau permintaan pasar sedang ramai, bisa lebih dari itu. Untuk memproduksi kasur sebanyak itu, dalam setiap bulannya Ramin harus mengeluarkan uang mencapai Rp. 1,2 miliar. Yakni untuk membeli kapas dari limbah pabrik tekstil di Bandung seharga Rp. 800 juta, ditambah upah tenaga kerja yang jumlahnya mencapai ratusan.
Selain kasur, kini Ramin juga memproduksi bantal serta guling. Kasur lantai dijual bervariasi, antara Rp. 70 ribu hingga Rp. 150 ribu. Kasur produksinya itu diberi label Adinita yang diambil dari nama salah satu anaknya. "Omzet kasur yang saya produksi justru lebih besar di luar Jawa, terutama Kalimantan. Orang luar Jawa itu kalau kasurnya sudah kotor langsung dibuang terus beli yang baru," ujarnya.